Kamis, 01 Maret 2012

Beningnya Embun: sebuah rasa...

Beningnya Embun: sebuah rasa...: " Teman anda tiba-tiba menghampiri tempat anda belajar, dan memungut sebatang pensilmu yang patah. Pintanya, “Boleh aku pinjam ini?” Anda ya...

Sabtu, 25 Februari 2012

Allah...Ya Rahman

Aku merasa sedikit lega malam 
ini. Bersama bintang, malam, dan kesunyian, ku lantunkan ayat ayatMu Ya Rabb. Begitu lembut sentuhanMu kurasakan hingga qalbu ini tak mampu merasa dan mulut yang tak mampu bersua. Aku pasrah dengan apa yang Kau tujukan padaku, aku begitu lemah dan rapuh. Kuatkan imanku Ya Rabb, jagalah keikhlasanku, kesabaranku, tawakalku. SkenarioMu lebih indah dan Engkau pasti tunjukkan yang terbaik untuk ku dan   jangan pikulkan beban yang begitu berat di luar kemampuanku Ya Rabb. Aku kembalikan semua urusan ini kepadaMu, Engkaulah Maha penepat janji, aku tertunduk memohon kepadaMu.

Setelah kesulitan akan ada kemudahan. Percaya atau tidak, itulah janji Allah terhadap hambaNya. Air mata yang menetes tidak akan selamanya menetes, kesakitan, kepedihan, aku yakin itu akan berakhir dengan indah karena roda itu berputar tak selamanya di atas dan tak selamanya di bawah. Engkau mempunyai caraMu sendiri untuk menyentil hambaMu yang lalai dan juga cara untuk mencintainya.

Ya Rabb, jaga hati hamba dari kerapuhan, aku membutuhkanMu…

Senin, 20 Februari 2012

Inspirasi Pagi 1

06:52

Terdiamlah sejenak,
Luapkan apa yang ingin kau luapkan bersama waktu.
 
Di sini, aku hanya  menanti
kapan rasa ini akan tersampaikan
kepada hati yang membeku oleh nafsu

Tetap, pagi ini
hatiku secerah mentari esok
tak kan terhasut oleh kebekuan malam

Berharap tanganku, tanganmu, dan tangan waktu 
tak kan hilang melambai




-vintaka-

Allah bersama ku :)

Pudarkah semangat ku, keikhlasanku,
Itu tidak boleh terjadi, demi orang orang yang menyayangiku.
"Ketika semua arah sepertinya tidak dapat memberikan jalan, maka ku pandang sejenak keatas. Mohon petunjuk pada Tuhan, karena Dia pasti memberi jalan dan kemudahan",.,
Perbaikan diri, mengatur waktu, itu yang harus aku lakukan. Allah selalu bersamaku, menyayangiku, menjagaku, mengingatkanku. Tak ada yang perlu kutakutkan, kecuali kehilanganNya.
SEMANGAT, hmm itu akan kembali. Senyuman itu, dekapan itu, belaian Tuhan lewat tanganmu. Terimakasih. Terimakasih untuk tidak menuntutku, terimakasih sudah menyimpannya untukku. Aku tahu kau mengkhawatirkanku, tenanglah...
Hujan kali ini, akan membawa pergi kekhawatiranmu.

Ku coba berjalan tanpa henti, menabur jejak jejak petualangku bersamaNya, dan bersama semangatmu.
Begitu bijaknya hidup melawan manis pahitnya kehidupan.
Akan ku ukir lagi semua itu..

-vintaka-

Minggu, 19 Februari 2012

Pendidikan Sebenarnya




Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.
BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
***
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
MELAHIRKAN KEHEBATAN
Bisakah kita mencetak orang orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Selasa, 13 Desember 2011

Bukan Sekedar Organisasi


13 Desember 2011
11:53 PM


Aku mengenal kalian di sini. Sebenarnya apa yang kalian cari dengan hal ini. Aku bingung harus mengekspresikan apa akan hal ini, senang karena ternyata mereka memperhatikan kita, peduli dengan kita dengan kritik mereka untuk kita. Tapi, aku pun merasa miris dengan kalimat kalimat itu. SEBEGITUKAH KITA???. Tapi kita tak sebegitu yang mereka fikir. Aku merasakan kebersamaan bersama kalian, keluarga kedua adalah kalian, aku pun merasakan pengorbanan kita yang mereka tak tahu bagaimana cara kita bangkit. Kita tak seburuk apa yang mereka fikir kawan. Jangan takut untuk selalu berproses, mimpi kita masih panjang, kita bisa menjadi lebih dari sekedar bara api kawan. Aku menyayangi kalian karenaNya, ayooo kita melangkah lagi, ayoo kita berproses lagi. Bosan, jenuh, nyaman itu manusiawi, kita justru memerlukan itu dalam kebersamaan. Kawan, mungkin kita sering merasa kecewa, merasa kalah, merasa kita tak sehebat yang lain, tetapi perjalanan kita ini tak selalu indah dan bahagia. Terkadang kita lupa, bahwa saat saat kita merasa kalah dan kecewa, sebenarnya itu adalah saat saat terkuat kita. Begitu pula dengan hal yang mudah akan terasa sulit jika yang pertama kita pikirkan adalah kata SULIT. Yakinlah kawan bahwa kita memiliki kemampuan dan kekuatan.
Sesulit apapun masalah yang kita hadapi, ia harus diselesaikan, bukan dihindari. J
BERANILAH UNTUK MENCINTAI DAN MENCINTAILAH DENGAN BERANI KAWAN!!!

Rabu, 30 November 2011

Pertanyaan untuk Mu

“Maha Suci Engkau Ya Allah, yang telah menciptakan perasaan. Maha Suci Engkau yang telah menciptakan ada dan tiada. Hidup ini adalah penghambaan. Tarian penghambaan yang sempurna. Tak ada milik dan pemilik selain Engkau. Tak ada punya dan mempunyai selain Engkau.
Tetapi mengapa Kau harus menciptakan perasaan? Mengapa Kau harus memasukkan bongkah yang disebut dengan "perasaan" itu pada mahkluk ciptaanMu? Perasaan kehilangan...perasaan memiliki...perasaan mencintai...
Kami tak melihat, Kau berikan mata; kami tak mendengar, Kau berikan telinga; Kami tak bergerak, Kau berikan kaki. Kau berikan berpuluh-puluh nikmat lainnya. Jelas sekali, semua itu berguna! Tetapi mengapa Kau harus menciptakan bongkah itu? Mengapa Kau letakkan bongkah perasaan yang seringkali menjadi pengkhianat sejati dalam tubuh kami. Mengapa? ”